Di Bawah Payung Hitam: Aksi Kamisan Mengajak Kita Berempati

 

Di Bawah Payung Hitam: Aksi Kamisan Mengajak Kita Berempati

 

Setiap hari Kamis sore, di depan Istana Merdeka Jakarta, sekelompok orang berdiri diam. Mereka mengenakan pakaian serbahitam dan memegang payung hitam. Aksi ini dikenal sebagai Aksi Kamisan, sebuah aksi diam yang sudah berlangsung lebih dari 17 tahun. Aksi Kamisan bukan sekadar demonstrasi biasa, melainkan sebuah pengingat yang tak pernah lelah tentang janji yang belum terpenuhi, keadilan yang belum terwujud, dan luka yang masih menganga bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).


 

Mengapa Payung dan Pakaian Hitam?

 

Payung hitam yang mereka bawa bukanlah sekadar aksesoris. Ia melambangkan duka dan perlindungan bagi para korban. Warna hitam yang mendominasi pakaian mereka merupakan simbol berkabung atas https://www.aksikamisan.net/  hilangnya nyawa dan keadilan. Payung hitam juga berfungsi sebagai metafora. Ia melindungi mereka dari terik matahari dan hujan, sama seperti mereka mencoba melindungi ingatan publik dari upaya-

upaya untuk melupakan. Setiap tetes air hujan yang jatuh di payung-payung itu seakan mengiringi air mata para korban dan keluarga yang tak pernah kering.


 

Menghitung Hari dalam Ketenangan

 

Aksi Kamisan dimulai oleh para keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kasus Trisakti, Semanggi, dan tragedi 1965. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan anak, saudara, atau orang tua mereka tanpa kejelasan. Setiap minggu, mereka hadir, tak peduli cuaca, menunjukkan bahwa perjuangan mereka tak pernah berhenti. Mereka tidak berteriak, tidak membakar ban, atau menutup jalan. Mereka hanya berdiri. Ketenangan mereka justru lebih menggugah. Kehadiran yang konsisten dan hening itu adalah sebuah bentuk protes yang paling kuat, sebuah perlawanan yang mengandalkan memori dan hati nurani.


 

Lebih dari Sekadar Protes: Sebuah Ajakan Berempati

 

Pada dasarnya, Aksi Kamisan mengajak kita semua untuk berempati. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, aksi ini adalah oase pengingat. Ia mendorong kita untuk tidak melupakan orang-orang yang terluka dan tidak mendapatkan keadilan. Ia mengajak kita untuk melihat cerita di balik payung hitam itu, bukan hanya sebagai berita di koran, tapi sebagai kenyataan yang dialami oleh sesama manusia. Aksi Kamisan adalah pelajaran tentang ketabahan dan harapan. Mereka mengajarkan kita bahwa keadilan memang membutuhkan waktu, tetapi bukan berarti kita harus berhenti menuntutnya.

Aksi Kamisan juga menjadi ruang bagi generasi muda untuk belajar tentang sejarah kelam bangsa ini. Banyak mahasiswa dan aktivis muda yang kini bergabung, memastikan bahwa api perjuangan ini tidak padam. Mereka membawa semangat baru, dan sekaligus, warisan ingatan. Setiap Kamis, di bawah payung hitam, kita diajak untuk melihat ke dalam diri kita sendiri: sudahkah kita berempati? Sudahkah kita peduli dengan penderitaan orang lain? Aksi Kamisan adalah pengingat bahwa empati adalah fondasi utama dari masyarakat yang berkeadilan. Selama keadilan belum tegak, selama itu pula payung-payung hitam ini akan terus ada.


 

Kesaksian yang Tak Boleh Terlupakan

 

Aksi Kamisan tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan. Setiap minggunya, mereka tidak hanya menuntut penyelesaian kasus lama, tetapi juga menyoroti isu-isu HAM yang sedang terjadi. Mereka menjadi garda terdepan dalam menyuarakan isu seperti perampasan lahan, kekerasan terhadap jurnalis, hingga penindasan terhadap kelompok minoritas. Aksi ini adalah cerminan bahwa pelanggaran HAM terus terjadi, dan kesaksian para korban tidak boleh dilupakan. Melalui aksi yang sederhana ini, mereka membuktikan bahwa solidaritas dan keteguhan bisa menjadi senjata paling ampuh untuk melawan ketidakadilan.